Jangan Lihat Tawaran Pekerjaannya, Tetapi Lihatlah CEO-nya

Kisah ini, pesan penting yang ingin kusampaikan agar siapapun bisa memilih tempat bekerja dan belajar dengan tepat. Sebab, tidak semua perusahaan adalah tempat belajar.

Mei 2011, di penghujung semester tujuh perkuliahanku yang tak pernah usai itu, aku mulai magang di perusahaan startup yang bahkan saat itu belum terdaftar resmi sebagai perusahaan.

Selama 2 tahun 10 bulan, aku tidak menganggapnya sebagai pekerjaan. Sebab, selama waktu tersebut, aku belajar dan melakukan banyak hal yang belum pernah kulakukan. Itulah mengapa aku berani untuk berhenti dari perkuliahan.

Sekarang, aku bukan lagi karyawan magang sebuah startup. Aku secara profesional bekerja untuk perusahaan teknologi terkemuka di Indonesia.

Ayah kedua

Entah ingin memotivasiku atau tidak peduli, waktu itu CEO startup-ku pernah menyetujui ideku membuat kostum boneka. Padahal, biayanya sekitar Rp600.000 dan hanya digunakan untuk acara kecil di Universitas Indonesia dan kegiatan CFD (Car Free Day) di Jakarta.

Dari sudut pandang bisnis, ideku tersebut bukanlah investasi yang baik. Sebab, waktu itu kami belum mendapat pendanaan sehingga masih bergantung pada perusahaan induk.

Setelah kami mendapat pendanaan, beliau bicara padaku secara privat, agar tidak takut untuk bereksperimen sebab sudah ada banyak uang untuk diinvestasikan.

Beberapa waktu sebelum memutuskan hijrah ke perusahaan lain, aku mendapat sebuah nasihat darinya. Beliau berkata kalau yang tersulit adalah untuk tetap walk the talk. Artinya adalah untuk tetap melakukan sesuatu sesuai ucapan.

Seorang teman menyebut kami bagaikan ayah dan anak. Sampai akhirnya perkataan semacam “Mal, dicari bapakmu tuh” menjadi lelucon yang sudah tak lucu lagi.

 

Ibu kedua

Diam-diam aku mengambil pekerjaan paruh waktu di tahun pertama bekerja di startup. Alasannya sepele, aku butuh tambahan uang untuk membiayai skripsiku yang tak pernah kuselesaikan itu. Keputusan ini terjadi setelah aku diundang makan malam oleh seorang wanita.

Aku dengan jaket gunung lusuh masuk ke salah satu restoran mewah di Senayan City. Kemudian seorang wanita paruh baya, gambaran wanita karir masa kini, berdiri meyambutku. Beliau memperkenalkan dirinya sebagai CEO sebuah agensi digital.

Seorang wanita hamil muda membawa tambahan menu sushi ke meja kami, sepertinya dia ini manager restoran tersebut. Kurang jelas apa yang diucapnya, wanita itu tiba-tiba beranggapan kami sedang makan malam keluarga sehingga membuat aku dan CEO-ku tertawa.

Sepanjang obrolan malam itu, satu hal yang selalu kuingat hingga saat ini adalah perkataan beliau tentang “tidak ada pekerjaan mudah dengan uang besar”.

Enam bulan aku bekerja sebagai freelancer untuk agensi digital miliknya yang berkantor di Permata Hijau, Jakarta Selatan. Memang bukan agensi besar sekelas Ogilvy, karyawannya saja bisa dihitung jari, tetapi aku sangat bersyukur karena pernah mengenal CEO-nya.

 

Semoga terinspirasi.