Pertanyaan Wawancara Kerja Traveloka Yang Membentuk Diriku

Seperti pertanyaan interview dari Google atau Microsoft yang terkenal aneh nan sulit, tetapi Traveloka menanyakan sesuatu lebih dari sekadar pertanyaan wawancara kerja.

Berawal pada Januari 2014, aku diundang ke kantor Traveloka di Grand Slipi Tower, Jakarta Barat. Aku bertemu dengan seseorang yang tertarik pada tulisan-tulisan blogku. Kami bicara tentang pencapaianku sejak berhenti kuliah dan rencana karir selanjutnya.

Selama diskusi, aku merangkum sebuah teori tentang manusia layaknya memiliki kemampuan seperti huruf “T”, yang artinya:

Kita boleh mengerti banyak hal dari berbagai disiplin ilmu, tetapi mesti ahli pada satu ilmu secara spesifik.

Pertemuan itu aku akhiri dengan sebuah janji akan bersedia bekerja untuk Traveloka di masa depan.

 

Pertemuan dengan sang mentor

Juli 2014, enam bulan setelah pertemuan terakhir, aku kirim email berisi kesediaanku kerja di Traveloka. Aku pun datang kembali ke kantor mereka dan cukup terkesima dengan pertumbuhannya; mulai dari perubahan fisik kantor hingga jumlah karyawannya.

Aku dipertemukan dengan seorang editor tim konten Traveloka, berinisial YW, yang kini kuanggap sebagai mentor. Kami berdiskusi kegiatan tim konten dan bagaimana aku bisa membantu mereka. Aku pun menunjukkan hasil kerjaku selama 6 bulan terakhir di sebuah agensi digital, dan hampir 3 tahun sebelumnya ketika kerja di startup ecommerce.

Mengingat kembali momen tersebut, aku malu telah menunjukkan hasil kerjaku.

Tak mau melewatkan kesempatan, aku mengatakan ingin menjadi penulis. Lalu beliau bertanya kenapa? Aku menjelaskan potensi industri konten dan bagaimana perusahaan teknologi akan diuntungkan darinya. Namun, beliau menolak jawabanku. Beliau mengatakan bukan itu yang dicari.

Aku terdiam.

Sempat aku kehilangan fokus karena pertanyaannya di luar dugaan. Tak pernah terpikir olehku menerima pertanyaan yang begitu jujur.

Beberapa saat aku melirik ke arah dinding untuk menyelami pikiranku sendiri. “Apa yang membuatku ingin menjadi penulis?”. Pertanyaan simpel namun jawabannya rumit diungkapkan.

Butuh keberanian untuk mengutarakan jawabanku kepada beliau. Jawabanku begitu personal dan menyentuh ranah yang tak umum diungkap kepada orang yang baru dikenal.

Setelah kuceritakan proses adanya keinginanku tersebut, beliau menerima jawabanku. Sejak saat itu, jawabanku menjadi motivasi belajar menulis, hingga meraih 1900% user growth lewat konten berkualitas.

 

Kenapa, kenapa dan kenapa

Setiap Jumat sore, tim konten Traveloka menggelar Traveloka Writer’s Club. Di kesempatan itu, anggota tim mempresentasikan hasil riset dari sebuah topik. Salah satu topik yang pernah kami bahas adalah berpikir kritis.

Salah satu anggota tim konten Traveloka, menjelaskan metodenya untuk bertindak kritis. Langkah pertamanya adalah dengan menanyakan kenapa, lalu kenapa dan kembali bertanya kenapa.

Jika dikaitkan ke momen wawancara kerjaku di Traveloka, secara tidak langsung YW mengajarkanku menjadi kritis.

Singkat cerita, beberapa minggu kemudian, aku mulai bekerja untuk Traveloka. Pertemuanku bersama sang editor yang kini menjadi mentor, menambah kemauanku untuk belajar hal baru (menulis).

 

Semoga bermanfaat.