Jangan Jadikan “Terima Kasih” Kebiasaan

Ada yang bilang, kita mesti membiasakan diri menyebut kata ‘tolong’, ‘maaf’, dan ‘terima kasih’.

Dulu aku berusaha menjadi pelopor gerakan tersebut. Saking terpengaruhnya, aku sampai sengaja mengingat-ingatnya di setiap komunikasiku.

Kini aku berbeda. Mungkin karena orang di sekitarku telah banyak yang menggunakan tiga kata tersebut.

Aku teringat dengan salah satu materi kuliahku tentang hukum permintaan dan penawaran:

Harga menjadi mahal saat penawaran barang terbatas tetapi permintaannya meningkat; begitu pula sebaliknya.

Mungkin itu menjelaskan apa yang kurasakan sekarang:

Kata-kata simpatik tak lagi bermakna, karena semua orang telah menggunakannya, dan aku pun telah terbiasa mendengarnya.

Tampaknya hipotesis ini tak hanya dirasakan olehku. Beberapa orang di luar sana pun merasakan kehampaan yang serupa.

Seseorang mengutarakan fakta buruk dari peristiwa terorisme dunia.

 

 

Prediksi seseorang atas respon dunia terhadap peristiwa Berlin.

Kalian mengerti kan?

Ada orang sepertiku yang tak lagi melihat makna dari sebuah simpati; salah satunya dari kata “maaf”, “tolong”, dan “terima kasih”.

Untuk memastikan perasaan ini bukan cuma ada di diriku, coba kamu jawab dengan jujur:

Apa kamu pernah bilang “maaf”, agar segalanya cepat selesai?

 

Apa kamu pernah minta “tolong” orang lain, karena rasa malas ketimbang tak sanggup mengerjakan sesuatu?

 

Apa kamu pernah bilang “makasih” secepat-cepatnya sambil memalingkan muka, padahal sebelumnya meminta “tolong” dengan nada penuh melas?

 

Di sisi lain, aku menemukan ini:

Jerinx (JRX), gitaris grup musik Superman Is Dead (SID), secara tidak langsung mengatakan bahwa kita sudah kehilangan makna terhadap hal-hal yang memang bermakna.

Faktanya: fenomena “telolet” (onomatopoeia) sudah lama ada, mungkin sejak adanya Bismania Community.

Kenapa tiba-tiba jadi sorotan global? Apakah alasannya sama seperti yang kurasakan?

Aku pun coba membandingkan ‘telolet’ terhadap peristiwa lain yang juga telah lama dibicarakan di Indonesia:

Menurutmu hipotesisku benar? Jika iya, mari bicara solusi.

 

Mulailah spesifik

Ada satu hal paling kuingat dari diskusiku dengan para penulis Traveloka yang hebat tentang Mastering Communication Skills to be a Better Communicator.

Salah satu kesimpulannya adalah, kami mesti mengucapkan rasa terima kasih lebih spesifik.

Bila biasanya hanya mengucapkan “terima kasih”, maka sekarang kami perlu menambahkan apa alasan dari ucapan terima kasih tersebut.

Misalnya: “terima kasih telah memberikan komentar, karena aku senang tiap ada yang mau bertukar pikiran”.

Bagaimana jika semua orang telah melakukannya?

 

Bukankah nanti akan kembali ke titik siklus pertama; alasan utama adanya artikelmu ini?

 

Betul. Inilah mengapa aku menambahkan satu lagi solusinya.

 

Jadilah berbeda

Tahun 2000-an, ada sebuah acara anak muda di TV yang setiap episodenya menampilkan kegiatan serupa. Namun, yang membuatnya menarik, setiap episode memiliki proses kreatif berbeda-beda. Acara tersebut bernama “Katakan Cinta”.

Bagaimana menurutmu jika konsep tersebut diimplementasi untuk mengutarakan rasa “terima kasih”?

 

Andaikan kita menerima bentuk ucapan “terima kasih” yang berbeda-beda, akankah maknanya hilang seperti sekarang?

 

Seberapa sulit melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebagai rasa terima kasih kepada orang lain?

 

 

Semoga bermanfaat.