Saya akan bercerita satu momen ketika Ferry Unardi, CEO Traveloka, diminta jawaban atas pertanyaan yang kurang lebih berbunyi:
Apa kemampuan super hero yang ingin kamu miliki?
Kembali ke awal tahun 2016, tahun keempat Traveloka beroperasi, seluruh karyawan merayakan ulang tahun perusahaan untuk yang pertama kali.
Mungkin buat mereka yang juga berada di sana, akan sependapat bahwa Traveloka bukan termasuk perusahaan yang sering berpesta.
Selama masa pendidikan di Traveloka, antara tahun 2014 hingga 2017, perayaan tersebut adalah kali kedua saya menyaksikan seluruh karyawan berkumpul di satu momen.
Kali pertamanya antara tahun 2014–2015; sebuah town hall meeting di sebuah hotel bilangan Palmerah.
“Leap year“, katanya.
Sebuah tema yang sepertinya memang akan menjadi perayaan tiap empat tahun sekali.
Ketika perusahaan startup lain seakan berlomba-lomba menunjukkan kantornya yang lebih ‘keren’, Traveloka seakan enggan terjebak di pusaran itu.
Ketika akun Linkedin perusahaan lain marak memamerkan segala aktivitas karyawannya, Traveloka baru memulainya beberapa tahun belakangan.
Outing? Halloween? Itu bukan budaya kita.
Saya jadi teringat, pernyataan salah satu petinggi Traveloka yang kurang lebih menyebut …
Ketika posisi kita 10X dari nomor dua, barulah kita bisa bersantai.
Nomor dua yang dimaksud adalah perusahaan kompetitor.
Cukup aman untuk berasumsi prinsip tersebut diadopsi dari budaya kerja Silicon Valley.
Sebab, saya ingat betul prinsip beliau lainnya tentang definisi “culture” dalam perusahaan; mengadopsi Netflix Culture: Freedom & Responsibility yang populer di tahun 2009.
Kurang lebih prinsip itu menyebut, bahwa budaya perusahaan bukan tentang bean bag, meja pingpong atau sejenisnya. Melainkan, tentang siapa yang dipromosikan dan siapa yang diberhentikan.
Diam-diam saya juga masih ingat, momen kedua kalinya kami bertemu, sebelum saya memutuskan bergabung di Traveloka, sekitar Juli 2014.
Kami mengobrol hingga mungkin 2 jam, tentang segala hal dalam karir.
Yang paling saya ingat, prinsipnya tentang huruf “T”. Tentang bagaimana sebaiknya seorang manusia mengembangkan keahliannya. Lebih detilnya, saya sudah menceritakannya di “Pertanyaan Wawancara Kerja Traveloka Yang Membentuk Diriku“.
Begitu pula dengan sosok lainnya, yang kala itu bertanggung jawab pada sisi teknologi Traveloka, Derianto Kusuma.
Stigma seorang engineer yang saya miliki, pecah setelah memahami tak sampai sepersekian persen tentang cara beliau memandang sesuatu; topik obrolan apa yang beliau gemari, dan semacamnya.
Barangkali Anda pun bisa melihatnya dari sebagian jawaban beliau di Quora, yang tak melulu bicara soal pemograman, tetapi juga, kehidupan sosial.
Selalu ada yang bisa saya pelajari dari beliau, misalnya tentang apa yang sebaiknya dipelajari bagi mahasiswa Indonesia.
Mengutip langsung dari pendapat Derianto Kusuma tentang kualitas lulusan perguruan tinggi top Indonesia:
In my observation, many are really good at the nuts and bolts of their domains (the techniques / skills), but in general have little knowledge about the bigger contexts of the domains and higher-level abstractions of the subject matters.
It makes them productive but pretty credulous, high-achievers in competitions and scholarships, but not in innovation or entrepreneurship. They are good at following rules and constraints, not inventing them.
Saya kira, hanya beliau, seorang CTO yang aktif menulis di publik, pada kalanya, dan mungkin hingga saat ini.
Kembali ke momen perayaan 4 tahun Traveloka.
Mungkin hanya beliau, Ferry Unardi, sosok paling misterius, buat saya, di antara ketiga pendiri Traveloka.
Selama tiga tahun di sana, hanya 3x saya berada di satu momen yang sama dengan beliau. Dari ketiganya, hanya 1x saya bisa mengajukan pertanyaan langsung.
Sayang … saya lupa apa yang saya tanyakan dan apa jawaban beliau.
Namun, saya ingat jawaban beliau tentang apa kemampuan super hero yang ingin beliau miliki. Jawabannya kurang lebih:
Mampu merekrut siapapun yang beliau mau untuk Traveloka.
Suasana perayaan ulang tahun Traveloka ke-4 pada Februari 2016.
—
Terima kasih.