Sejak berhenti kerja untuk Traveloka, hobi kayu menjadi kegiatanku. Sampai pada Agustus 2018 kemarin, aku memutuskan bekerja penuh waktu sebagai tukang kayu.
Caturwulan pertama, karirku sebagai tukang kayu terbilang lambat. Karakter bisnis yang padat modal, menghambatku memiliki ruang kerja dan armada logistik memadai. Beberapa aset investasi, yang menjadi “jaring pengaman”, kucairkan untuk membeli peralatan. Semua demi growth dan menambah runway.
Siang bekerja, malam hari aku sekolah di Youtube, sembari mencari supplier dan partner di sela waktu kosong.
Setidaknya 5 proyek besar telah kuselesaikan hingga awal tahun 2019. Proyek yang tak sekadar memberiku keuntungan materi, tetapi juga kebiasaan dan perspektif baru. Sungguh berbeda dengan apa yang kupelajari selama menjadi pengangguran.
1. Bekerja secara spesifik
Membuat furnitur seperti bermain Lego. Setiap balok dirakit menjadi produk fungsional. Hanya saja, aku perlu membuat baloknya sendiri. Setiap balok dibentuk presisi agar mudah dirakit dan kokoh.
Setiap proyek menuntut tingkat presisi berbeda. Kabinet dapur atau dipan menuntut ketelitian hingga 1mm di beberapa bagian. Kesalahan dimensi pada sebuah bagian bisa diperbaiki, tetapi konsekuensinya adalah waktu pengerjaan lebih lama; yang berarti uang.
2. Menilai lebih dari visual
Kukira kita semua pernah menilai buku dari sampulnya . Itu manusiawi. Sebab berpikir kritis butuh latihan. Rutin mendiskusikannya saja tak lantas membuat kita lebih kritis; setidaknya itu yang aku pelajari selama tergabung Traveloka Writer’s Club.
Berbeda setelah aku rutin memproduksi furnitur. Tiap kulihat sesuatu, pikiranku mencoba menyimulasikan manufakturnya (reverse engineering). Berempati pada proses pengambilan keputusan sang pengrajin dan desainer produk. Ini yang melatihku menilai sesuatu atas dasar desain, konstruksi hingga tujuan penciptaannya.
3. Menikmati proses
Menyimulasikan reverse engineering tak senikmat melakukannya secara nyata. Bekerja di sektor riil; di posisi terendah menguras tenaga. Apalagi ditambah pekerjaan ranah manajemen seperti mengelola keuangan hingga menjaga hubungan baik dengan supplier dan partner. Tidak heran jika ada yang berpendapat, “entrepreneur bukan untuk semua orang”.
4. Berpikir intuitif
Impian furnitur setiap orang kadang tidak spesifik. Sekali lagi, itu manusiawi. Ketika lapar, mayoritas kita hanya terbayang menu makanannya; bukan pada bagaimana proses makanan itu dimasak.
Persis ketika ada yang memintaku membuat furnitur, misal lemari pakaian. Biasanya konsumen hanya menentukan dimensi, jumlah laci/rak dan warna. Jarang yang menentukan bagaimana lemari itu dirakit agar mudah dalam pengiriman, jenis finishing yang harus digunakan atau bagaimana desain kaki lemarinya. Inilah momen di mana aku dituntut berpikir intuitif sekaligus berempati.
5. Memahami hal mendasar
Aku menjadi sering menggunakan pensil dan kertas untuk membuat sketsa. Hal sepele namun memiliki arti besar buatku. Sebab, ilmu membuat sketsa atau gambar berperspektif kudapat dari pelajaran seni rupa di kelas 2 SMP; kelas yang diyakini banyak teman-temanku saat itu tak akan berguna, karena “menggambar itu mudah”.
6. Melihat alam bekerja
Aku salah karena menganggap kayu sebagai benda mati. Butuh pemahaman biologis untuk menentukan bagaimana seharusnya batang kayu dipotong untuk kebutuhan industri furnitur.
Tukang kayu yang baik pasti paham bagaimana pohon tumbuh. Sebab, pemahaman itu dibutuhkan untuk menciptakan furnitur yang kuat dan berumur panjang. Misalnya, karena pohon mengambil nutrisi tanah dari bawah ke atas, maka bagian tersebut tidak lebih padat (kuat) untuk penyambungan kayu dibanding sisi dinding pohon.
7. Mendefinisikan kerja keras
Kerja di manufaktur sepertiku ini melelahkan. Berbeda dengan 6 tahun pengalamanku kerja di perusahaan teknologi yang lebih mengandalkan otak. Namun, baru kali ini aku merasakan definisi kerja yang berkomitmen dan berintegritas.
Godaan selalu ada untuk mengambil untung lebih dengan menurunkan kualitas material. Sejak ini pun aku memahami mengapa kasus korupsi sebuah proyek infrastruktur bisa terjadi.
8. Menghormati mesin
Tukang kayu adalah pekerjaan berisiko. Bekerja dengan putaran mesin mencapai 3000rpm tak hanya menggertak fisik, tetapi juga mental.
Namun kecelakaan justru sering terjadi ketika seseorang terlalu nyaman karena terbiasa dengan mesin. Inilah pola pikir yang coba selalu kuingat; untuk tidak terbuai kenyamanan; fokus ketika menggunakan mesin. Dengan kata lain, aku mencoba lebih bijak dalam tiap tindakan, menghitung risiko, terutama saat bekerja dengan mesin.
Yang melenakan cenderung melemahkan.
9. Menghargai ide
Aku punya cara tersendiri untuk tidak menjiplak desain produk lain. Terlebih ketika ada konsumen yang memberiku gambar dari internet atau katalog IKEA.
Caranya, aku membuat sketsa. Itu sudah menjadi prosedur dalam caraku menganalisa kebutuhan konsumen. Melalui sketsa, aku tak terjebak pada desain produk orang lain. Aku pun dapat memberi sentuhan desain khas diriku sendiri. Kadang sketsa yang kubuat berubah seiring proses produksi berlangsung, yang membuat hasil akhirnya jauh berbeda dari referensi gambar.
10. Mengalokasikan kesalahan
Belajar secara otodidak artinya tidak ada panduan sistematis tentang “apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan”. Risiko kesalahan yang kuperbuat lebih tinggi ketimbang mereka yang mengikuti pendidikan formal. Dengan kata lain, aku harus menyiapkan waktu, material hingga uang lebih sebagai ongkos belajar dari kesalahan.
Akibat pemahaman itu, kini aku lebih menghargai kesalahan. Bahkan beberapa proyek yang kuselesaikan lebih banyak memberiku pelajaran ketimbang untung finansial.
11. Simpel itu kompleks
Ketika aku bekerja sebagai penulis, menulis satu halaman jauh lebih sulit ketimbang puluhan halaman. Sekarang, membuat sambungan kayu berbentuk geometri dasar pun tak semudah yang kukira.
Betul kata orang, ini seperti fenomena gunung es di lautan. Mayoritas orang hanya melihat hasil akhir, tapi tidak proses di baliknya. Seperti tulisan ini; klise, buat diriku setahun lalu.
Semoga bermanfaat.