Infeksi Cinta Dari “Cinta Dari Wamena”

Salam,

Jika merasakan ketertarikan secara visual pada pertemuan perdana adalah definisi cinta maka aku telah terinfeksi cinta.

Beberapa hari lalu, aku mendapat undangan untuk menyaksikan “Cinta Dari Wamena” yang terlihat memang bukan film komersil. Jujur aku kurang bersemangat menonton film drama seperti ini jika bukan karena infeksi cinta. Secara subjektif, saat mendengar judul dan poster film itu terbesit kisah seperti “Laskar Pelangi” yang menonjolkan Belitung sebagai latar tempat cerita. Namun ternyata persepsiku kurang tepat karena ada hal lain yang disampaikan pada film Cinta Dari Wamena.

Banyak fakta menarik tentang film ini, misalnya pemain yang digunakan adalah warga asli Wamena dan film ini diprakarsai oleh pemerintah sebagai sosialisasi kepada masyarakat.

Review Film Cinta Dari Wamena
Di awal film, para pemain utama dikenalkan sebagai murid dengan cita-cita cemerlang di daerah pedalaman. Yang banyak mengganggu adalah tidak adanya terjemahan dari bahasa daerah di dalam dialog serta kakunya percakapan diantara pemain namun hal tersebut tetap patut diacungi jempol sebab pemain adalah warga asli; notabene bukan pemain akting film.

Walau awal cerita banyak dibumbui keganjilan dialog dan adegan tapi konflik yang satu-persatu dimunculkan menjadi terlalu menarik untuk ditinggal pipis ke WC. Banyak twist pada konflik yang muncul oleh setiap tokoh sehingga tiba-tiba membuat semua kakunya dialog antar pemain jadi hilang.

Bisa jadi kehadiran Nicholas Saputra dan Susan Bachtiar di film tersebut adalah alat promosi yang tepat untuk menggaet penonton di kelas ‘menengah’. Aku cukup terhibur dengan akting Nicholas karena sebelumnya aku sudah menonton tayang perdana film “What They Don’t Talk About When They Talk About Love” yang juga diperankannya; mungkin kalian baru akan mengerti kenapa aku ‘terhibur’, setelah menonton kedua film tersebut.

Perlu diperhatikan pula lagu-lagu pengiring di dalam film Cinta Dari Wamena pun menarik untuk di dengar lho. Salah satunya yang ini:


Di akhir cerita, setelah konfilk terselesaikan dan pesan sosialnya tersampaikan; yang masih jadi pertanyaanku adalah: siapa target penonton film ini? apakah warga Papua secara khusus atau semua masyarakat (anak muda), karena banyak adegan yang menurutku terlalu kota untuk dilakukan di sebuah daerah seperti Wamena (ya, ini subjektif sekali karena aku belum pernah ke sana).

Sebelumnya aku sudah jelaskan bahwa film ini adalah bentuk sosialisasi kepada masyarakat, terhadap apa? sebaiknya kalian tahu setelah menonton langsung filmnya saja karena menurutku itulah kekuatan film ini menjadi layak ditonton, terutama kalian yang juga pecinta film non-komersil sepertiku.

Dari 5 bintang, aku memberikan film Cinta Dari Wamena ini 4 bintang dan patut segera tonton di bioskop.

Terima kasih.

sumber gambar:
– Kaskus
– Indonesian Film Center