Amal Agung Cahyadi

Mengapa Aku Berhenti Kerja Untuk Traveloka?

Setelah 3 tahun bekerja untuk Traveloka, aku pun memutuskan berhenti. Butuh setidaknya satu tahun buatku menahan diri agar keputusan tersebut bukan dikendarai emosi semata.

Bekerja di Traveloka membuka mata; membuatku mampu mengenali satu cara membangun perusahaan unicorn. Ditambah pengalaman membangun Bukalapak sedari awal, membuatku menyadari kesalahan karir yang kulakukan selama ini.

Mengapa aku berhenti kerja untuk Traveloka? Alasannya terakumulasi sejak awal aku bekerja untuk mereka:

 

Tahun pertama: Pertemuan dengan malaikat dan iblis

Bagai cerita klise seorang anak angkat di keluarga baru, aku bertemu dengan ibu tiri jahat dan ayah angkat baik hati.

Awal Agustus 2014, aku resmi bekerja untuk Traveloka. Memulai bidang kerja baru sebagai penulis tanpa pengetahuan formal tentang cara menulis dengan baik. Aku dipertemukan dengan wanita berinisial YW, yang menjadi editor dan kemudian kuanggap sebagai salah satu mentor; orang paling berpengaruh di hidupku.

Sejak saat itu, aku mengukuhkan diri berfokus mempelajari segala hal tentang konten; khususnya penulisan. YW bukan sekadar mengajarkan cara menulis tetapi juga cara menjadi penulis yang berempati. Beliau adalah malaikat di antara iblis yang kutemui.

Sebelum Traveloka, aku telah bekerja sekitar 3 tahun membangun Bukalapak dan Limestone (sebuah agensi digital). Selama itu bekerja, hanya di Traveloka aku secara sadar mengalami perundungan di tempat kerja.

Di hari pertama bekerja di Traveloka, aku mendapat tugas menulis sebuah artikel. Kala itu YW masih cuti kerja sehingga mekanisme editing dilakukan paralel oleh banyak orang. Aku yang bersemangat belajar dengan menerima kritik, terlalu lugu untuk menyadari perundungan terjadi selama proses itu.

Suatu hari kemudian, aku bersama kepala pemasaran dan beberapa anggota dari tim lain mengadakan pertemuan tertutup. Kami membahas agenda pemasaran yang berkaitan dengan konten. Di tengah pertemuan, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal yang berisi emoji paha ayam (🍗). Setelah kutelusuri, ternyata pesan tersebut dikirim oleh salah satu orang di pertemuan tersebut.

 

Tahun kedua: Menerima otonomi dan eksperimen

Banyak hal yang telah diselesaikan oleh tim konten Traveloka, melebihi apa umumnya dilakukan perusahaan lain. Contohnya, aku turut bertindak menggantikan tugas front-end developer ketika Traveloka ingin mengirim email newsletter.

Mengirim sebuah email newsletter di Traveloka, tidak semudah yang seharusnya terjadi. Sebab kala itu, kami mengandalkan alat hasil karya sendiri dengan fitur dan tampilan sederhana.

Sadar bahwa kondisi tersebut tidak scalable, dan tak sesuai dengan tugas serta jabatan tim konten, maka aku menyampaikan keluhan. Kemudian hal itu berujung pada dilakukannya performance appraisal untuk pertama kali.

Pada momen itu pula aku mendapat kesempatan mengelola media sosial dan blog Traveloka. Anggota tim konten lainnya pun mendapat posisi baru sesuai pilihannya masing-masing. Di momen ini pula, aku dengan resmi tak lagi dikepalai oleh YW.

Apa saja yang telah kulakukan untuk media sosial dan blog Traveloka, terangkum dalam beberapa poin:

Secara paralel, selama fase ini aku memulai eksperimen konten KampusUNJ.com yang menghasilkan pertumbuhan pengguna hingga 1900%. Selain ingin menunjukkan hanya dengan konten berkualitas saja mampu menciptakan pertumbuhan dalam bisnis, semua ini kulakukan untuk mengalihkan perhatianku dari kondisi stagnan yang ada.

 

Tahun ketiga: Kontemplasi dan negosiasi

Memasuki fase terakhirku di Traveloka, tak ada lagi yang membuatku antusias bekerja untuk Traveloka. Segalanya terasa stagnan. Tak ada tantangan dan apresiasi yang sepadan. Bagai robot, setiap hari aku isi dengan hal monoton.

Aku coba berdiskusi dengan YW tentang kondisi ini, dan kemungkinan kembali menjadi salah satu timnya. Namun, Traveloka sudah terlalu rumit dan besar untuk terciptanya kembali budaya kerja yang terjadi antara aku dan YW di tahun pertama.

Usaha tak hanya dilakukan olehku. Seseorang pun ditunjuk untuk menjadi mediator atau mungkin sebagai mentor. Namun, aku melihat keberadaannya tidak memecahkan permasalahanku yang sebenarnya.

Hingga pada suatu waktu, melalui mediator tersebut Traveloka memberi penawaran. Sebuah pilihan yang tak sulit buatku memutuskannya. Karena hal tersebut, aku pun akhirnya merasakan apa yang mungkin banyak orang alami: Kehilangan pekerjaan.

 

Semoga bermanfaat.